Disclaimer: tulisan ini merupakan iktisar dari artikel yang berjudul Exegesis of The Qur’an: Early Modern and Contemporary tulisan Rotraud Wielandt
SERATLONTAR – Mayoritas penafsiran baru sangat jauh berkembang di dunia Arab terutama di Mesir. Ide baru tentang makna teks Al-Qur’an muncul sebagai jawaban atas pertanyaan yang timbul dari politik, sosial, dan budaya yang terjadi di masyarakat muslim dari pengaruh barat. Rotraud Wielandt mendokumentasikan ragam penafsiran Al-Qur’an menjadi empat macam berdasar waktunya yakni modern dan kontemporer.
Problem penenting untuk dibahas disini adalah: kesesuaian antara pandangan Al-Qur’an dengan sains modern, dan pernyataan yang sesuai tatanan politik dan sosial berdasarkan prinsip Al-Qur’an.
Masuknya unsur sains dan ilmu lain di luar itelektualitas islam kian gencar seiring beralihnya zaman ke era modern. Hal ini juga berdampak pada dunia penafsiran yang juga banyak pendekatan dari unsur luar mendominasi.
Salah satu pertanyaan mendasar adalah bagaimana Al-Qur’an dapat memberikan ketentuan yang mengacu pada status hukum bagi perempuan agar dapat menuju persamaan hak dari kedua jenis kelamin yakni perempuan danlaki laki?
Sebagian besar penafsiran ditulis untuk konsumsi ulama dan secara eksplisit untuk kalangan umum. Berikut ini ragam penafsiran Al-Qur’an beserta tokohnya:
Ragam Penafsiran Al-Qur’an
1. Penafsiran Rasional
Penafsiran era modern ini lebih menekankan kepada penafsiran metafora dalam suatu ayat. Salah satu contohnya Sayyid Ahmad Khan. beberapa ayat memiliki makna yang rancu sehingga perlu dilakukan penggalian makna secara metafor.
Menurut Khan, penafsiran metafor ini yang notabene bukan merupakan penaknaan kedua dari sebuah teks, melainkan rekonstruksi dari sebuah makna asli teks. tuhan mengekspresikan beberapa ayat yang bermakna metafor didalam sebuah teks.
Untuk memahami makna metafor, makan perlu dilakukan analisis bahasa sebagaimana Al-Qur’an digunakan. yakni bahasa arab pada abad ke 7.
Hasil dari penafsiran Khan atas prinsip prinsip tersebut, menghilangkan keajaiban peristiwa dari pemahamannya terhadap teks Al-Qur’an. Contohnya, semua cerita tentang supranatural dan semua keajaiban yang tidak sesuai dengan pandangan saints/ilmiah.
Dalam konteks nalar sains modern, memiliki kriteria yang berbeda dengan mufasir terdahulu dalam memahami makna teks. mereka menjelaskan perjalanan malam nabi (isra’) hanyalah melalui mimpi (imajinasinya saja), jin adalah orang primitif yang tinggal didalam hutan.
Muhammad Abudh mengambil ide filosofis dari abad pencerahan barat (renasains). Abudh membagi kelompok ayat menjadi beberapa. kata atau frasa bukan objek utama penafsiran, melainkan salah satu bagian penafsiran.
Untuk menemukan makna yang sesungguhnya harus dikaitkan dengan mempertimbangkan konteksnya. Akan tetapi dalam setiap penafsirannya, ia jarang konsisen dengan pernyataannya tersbeut. bagi abduh, sains adalah kriteria yang menentukan makna al-Al-Qur’an.
Baca Juga: Berikut Ini Gambaran Singkat Perkembangan Islam: Muslim Perlu Tau
2. Penafsiran Berbasis Ilmiah
Muhammad Abduh, dalam penafsirannya, juga memasukkan keilmuan modern seperti sains. Dalam suatu kesempatan dia mempertimbangkan yang dimaksud jinn dalam al-Al-Qur’an adalah semacam mikroba.
Abduh juga menafsirkan tentang kisah dalam surah al fiil. Burung ababil yang membawa batu untuk menyerang pasukan abrahah diartikan sebagai sebuah burung yang membawa penyakit sehingga menjangkiti seluruh pasukan musuh.
Ia ingin membuktikan bahwa al-Al-Qur’an tidak bertentangan dengan standar keilmuan modern. Melainkan telah lebih maju berabad abad sebelum peradaban barat ada.
Pola dasar penafsiran ilmiah tidak sepenuhnya baru, Fakhruddin Ar-Razi telah mengemukakan bahwa ilmu bersumber dari Al-Qur’an. Mereka menggali pengetahuan yang berkembang di zaman itu melalui Al-Qur’an dan sebagian mengadopsi dari peradaban India dan peradaban Yunani-Hellenistik.
Dari pemaparan tersebut, belum bisa menggambarkan keakraban dengan ilmu pengetahuan barat.
Tantawi Jawhari adalah seorang tokoh terkemuka asal mesir yang paling masyhur dalam tafsir ilmi di abad modern. Buku tulisannya berjudul al-Jawāhir fī tafsīr al-Qur_ān alkarīm.
Buku ini bukanlah buku tafsir pada umumnya, melainkan berisi ensiklopedia dari ilmu modern. Jawharu mengklaim bahwa ilmu-ilmu modern telah dituliskan dalam al-Al-Qur’an.
Tidak seperti mufasir pada umumnya, tantawi jawhari tidak menjelaskan secara baku bagaimana metode penafsirannya.
Tujuan utamanya adalah meyakinkan rekan rekannya untuk tidak hanya –dalam perkembangan pengetahuan- berfokus kepada penggalian hukum syara’ melainkan juga untuk menggali keilmuan modern. engan cara tersebut, umat islam bisa mendapatkan kebebasan politik dan kekuasaan.
3. Penafsiran Pendekatan Kebahasaan
Pengguaan pendekatan kebahasaan dalam penafsiran diawali oleh Amin Al-Khulli, seorang profesor di Universitas Kairo, Mesir. Ia tidak menulis buku tentang penafisran al-Al-Qur’an, melainkan melalui ceramah dan perkuliahan, ia menyebarkan gagasannya.
Sejak tahun 1933 bersama rekannya, taha husayn menyatakan bahwa kitab sucu dari ketiga agama yatu yahudi, nasrani dan islam merupakan warisan sastra umat manusia.
Oleh karena itu, pelu dilakukan penggalian makna berdasarkan analisis teks sastra. Baik itu bible di kristen, taurat di yahudi manupun al-Al-Qur’an di Islam.
4. Penafsiran Pendekatan Sejarah
Salah satu sarjanawan islam yang menggunakan pendekatan ini dalam penafsiran adalah Muhammad Daud Rahbar dari Lahor, Pakistan. Dalam sebuah konferensi ia pernah mengatakan, “tidak akan ada pesan yang diturunkan kepada seorang kecuali mengacu pada situasi nyata”.
Ia mengharapkan bahwa penafsiran dapat lebih fleksibel dengan mempertimbangkan asbabun Nuzul dan keadaan historis dimasa Al-Qur’an turun. Sedangkan kitab suci ini sendiri menghapus beberapa ayat –pada masa ia diturunkan turun- sesuai dengan keadaan yang berjalan.
Fazlur Rahman, seorang profesor Studi Islam di Universitas Chicago yang juga berasal dari Pakistan mengusulkan dalam bukunya; Islam and Modernity: Transformation of anIntellectual Tradition, memberikan solusi berupa hermeneutik untuk memecahkan permasalahan pemaknaan Al-Qur’an dengan pendekatan sejarah kenabian Muhammad,
Hasil dari pendekatan hermeneutika tersebut memunculkan makna yang relevan dimasa sekarang. Menurutnya, pokok dari Al-Qur’an terdiri dari; moral, agama dan hukum sosial, yang muncul akibat dari situasi sejarah.
Utamanya pada permasalahan yang muncul di fase Makkah (nabi sebelum hijrah). Untuk itu, penafsiran dimasa sekaran diperlukan metode yang disebut ‘gerakan ganda/double movement’ yakni membaca Al-Qur’an dari situasi sekarang dan situasi dimasa Al-Qur’an diturunkan.
Epilog
Demikian empat ragam penafsiran Al-Qur’an pada era modern dan kontemporer. Seluruh pembahasan dari artikel ini belum merepresentasikan bermacam penafsiran di era tersebut, namun setidaknya dapat memberikan gambaran kepada pembaca betapa corak itu diambil dari luar unsur Islam, tetap memiliki tujuan yang sama yakni memahami kalamullah.