SERATLONTAR – Apa jadinya jika penelitian islam oleh barat selama ini merupakan bagian dari proyek besar yang betajuk ‘neo-kolonialisasi’? Pertanyaan ini kiranya juga yang sama difikirkan oleh Edward Said sebelum menulis buku berjudul Orientalism. Dalam bahasa indonesia, buku ini telah diterjemahkan dengan judul yang sama, meski ada sedikit tambahan untuk kepentingan marketing Orientalisme: Menggugat Hegemoni Brat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek.
Tatkala pembaca menyusuri lembaran awal bagian “Pendahuluan” ini, mereka akan kesulitan menerka motif apa yang melatar belakangi penulisan buku ini. Rupanya, secara personal, ia menunjukkan motif ini pada bagian paling terakhir. Sebagai orang yang pernah hidup di dua peradaban yang bertolak belakang (Barat dan Timur) ia mengasosiasikan dirinya sebagai orang Timur.
Atas dasar hal inilah ia menyadari tentang betapa tidak selarasnya bagaimana pandangan Barat baik itu dalam hal penelitian maupun acara-acara di televisi kala itu terhadap dunia timur.
Sepintas Tentang Latar Belakang Mualif
Edward Said merupakan seorang akademisi berkebangsaan Amerika, aktivis politik dan kritikus literatur. Said lahir pada 1 November 1935 di Yerusalem. Meski berkebangsaan negeri adikuasa, ia lahir dari tanah Palestina, negeri yang penuh dengan konflik dan syuhada sampai saat ini.
Said juga anak dari Walid Ibrahim, seorang pengusaha kaya asal Palestina yang pindah ke Kairo karena menghindari perang Arab vs Israel yang kala itu terjadi pada 1947. Beberapa waktu kemudian, ia pindah ke amerika dan menetap di sana. Berdasar dari atar belakang inilah yang memunculkan kesadaran Said tentang ketimpangan pandangan Barat akan dunia Timur
Menerka Makna Orientalisme
Kita akan sulit menangkap kesepakatan terkait apa itu makna orientalisme menurut Said, sebab, di bagian awal, ia begitu banyak mendefinisikan tentang hal ini. Meski demikian, dari beragam definisi itu, kita dapat menangkap satu benang merah tentang orientalisme.
Orientalisme ringkasnya merupakan cara pandang Barat terhadap Timur yang mereka anggap sebagai barang yang eksotis, terbelakang, dan irasional. Secara historis, istilah ini muncul sebagai bagian dari penelitian yang melekat di dalamnya pengetahuan politis. Maksud dari pengetahuan politis ialah pengetahuan yang lahir atau diciptakan karena ada motif-motif tertentu dari pemilik otoritas tertinggi.
Sebagai contoh, permulaan munculnya kajian orientalisme, yakni abad ke 18 yang dilakukan oleh inggris kepada India dan Perancis kepada Mesir, tidak lain adalah karena kepentinngan kolonialisasi. Dengan meneliti hal-hal di dalam negara itu, baik itu religiusitas, sosial, dan kultural, akan lebih memudahkan mereka dalam menjalankan praktik-praktik penjajahan, dan memperkecil konflik.
Guna mengurai persoalan orientalisme ini, Said menggunakan pendekatan Michael Focult dalam The Archeolofy of Knowledge dan dalam Discipline and Punish. Kajian orientalisme telah membuat dunia timur sebagai subjek pemikiran atau tindakan yang benar-benar terbatas. Dengan kata lain, kajian orientalisme barat merupakan kajian yang mereka lakukan dengan kacamata eksoteris (cara pandang bahwa objek merupakan bagian yang terpisah dari dirinya).
Baca Juga: The European Qur’an: Mengenal Lebih Dekat Proyek besar Studi Qur’an di Eropa
Dalam pendahuluan ini, ia juga mengkritik bagaimana barat memperlakukan orientalisme sebagai objek kajian. Alih-alih orientalisme menjadikan timur sebagai wacana keilmuan murni, justru mereka menjadikan objek penelitian ini sebagai tanda kekuasaan hegemoni kekuasaan Eropa Atlantik.
Hasil dari cara pandang ini, kajian orientalisme tidaklah menguak bagaimana timur berbicara atas dirinya, melainkan penialian barat dengan kaca mata mereka terhadap objek kajiannya. Praktik ini telah terjadi dalam waktu yang sangat lama. Hasil dari penelitian ini dapat kita lihat melalui berbagai media, baik itu seperti pameran manuskrip, museum, maupun kajian di perguruan tinggi.
Metodologi Penelitian
Secara tulisan, buku ini tidak dirancang dengan sistematika ensiklopedis. Selain sudah terlampau umum, model karya seperti ini juga telah banyak mendapat kritik oleh para pembacanya.
Said juga membatasi objek kajian orientalisme pada tiga imperium besar saja, Inggris, Perancis, dan Amerika. Ketiganya memiliki pengaruh besar terhadap peradaban di timur. Mereka juga tergolong dalam negara yang paling aktual (setidaknya sampai buku ini ditulis) yang memiliki keterlibatan terhadap kolonialisasi di timur. Lain halnya seperti Portugis ataupun Spanyol yang jarak tahunnya lama.
Ketiga negara ini juga secara khusus bersinggungan dengan timur tengah dan Islam. Berkenaan dengan alasan personal sebagaimana pembahasan di atas, Islam memiliki histori panjang di peradaban timur (1000 tahun kurang lebih). Orang juga dapat membedakan pembahasannya antara timur dekat dan tengah, dengan timur jauh.
Ditinjau dari kerangka metodologis, buku ini ditulis dengan dua metode, pertama, posisi strategis, yakni kedudukan penulis atas siatu teks dalam kaitannya dengan topik orientalisme yang menjadi pembahasan ini. Kedua, formasi strategis, yakni cara menganalisa relasi yang terdapat di antara teks-teks ketimuran.
Judul Buku: Orientalism
Penulis: Edward W. Said
Penerbit/Tahun Terbit: Pantheon Books / 1978
Oleh: Muhammad Wildan