SERATLONTAR – Dalam dunia demokrasi yang dinamis, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan salah satu manifestasi penting dari partisipasi publik dan legitimasi pemerintahan.
Baru-baru ini, perhatian kita tertuju pada hasil putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan keputusan DPR mengenai Pilkada 2024.
Kedua keputusan ini, tentunya memiliki implikasi besar terhadap jalannya demokrasi di Indonesia.
Putusan MK: Menciptakan Landasan Hukum yang Kuat
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran krusial dalam menjaga konstitusi dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Putusan terbaru MK mengenai Pilkada 2024 menegaskan sejumlah perubahan penting dalam regulasi pemilihan.
Salah satu keputusan utama adalah terkait dengan syarat pencalonan dan batas usia calon kepala daerah.
Dengan memperketat persyaratan tersebut, MK bertujuan memastikan, kandidat yang terpilih benar-benar memenuhi standar kualitas.
Keputusan DPR: Kebijakan Baru dalam Struktur Pilkada
Di sisi lain, keputusan DPR mengenai Pilkada 2024 memperkenalkan sejumlah kebijakan baru yang mungkin berdampak langsung pada dinamika politik lokal.
Salah satu aspek penting dari keputusan DPR adalah penyesuaian anggaran dan mekanisme pemilihan, termasuk kemungkinan adanya perubahan dalam pola alokasi dana dan pengawasan.
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi, tetapi juga harus diwaspadai potensi risiko politik yang dapat muncul. Contohnya seperti pengaruh yang tidak seimbang antara daerah kaya dan daerah kurang berkembang.
Baca Juga: Sikap DPR Atas Putusan MK Terkait Syarat Pencalonan Pilkada, Berikut Dampaknya
Komisi II DPR dan KPU sepakat menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas parlemen dan syarat batas minimal usia calon kepala daerah. Dua putusan MK itu telah dimasukkan ke dalam rancangan perubahan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024.
Rincian putusan MK untuk UU Pilkada Dilansir dari Kompas.com, Rabu (21/8/2024), berikut rincian putusan MK yang dibacakan pada Selasa (20/8/2024): Ambang batas pencalonan kepala daerah Melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengatur ulang ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pada putusan itu, partai politik yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bisa mengusung calon kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan paslon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
Melalui Putusan Nomor 73/PUU-XXII/2024, MK menolak gugatan supaya mantan gubernur, bupati, atau wali kota dapat mencalonkan diri kembali di wilayah yang sama.
Menghadapi Tantangan dan Peluang
Menanggapi hasil putusan MK dan DPR, kita harus menyadari bahwa setiap perubahan sistem pemilihan merupakan langkah yang memerlukan evaluasi mendalam.
Penting untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang diambil mendukung prinsip demokrasi yang adil dan transparan.
Pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan keputusan ini, serta partisipasi aktif dari berbagai pihak dalam evaluasi dan pengawasan menjadi kunci keberhasilan.
Secara keseluruhan, meski putusan MK dan DPR mencerminkan upaya untuk memperbaiki sistem pemilihan, kita harus tetap kritis dan berhati-hati.
Proses demokrasi harus terus berkembang, tetapi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar keadilan dan inklusivitas.
Pilkada 2024 harus menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi lokal dan memberikan ruang bagi suara-suara yang bervariasi. Pesta rakyat tersebut juga diharapkan merupakan hasil dari keputusan yang berdasarkan cerminan aspirasi rakyat.
Oleh: Fadhilah Aini
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Penulis Buku.