SERATLONTAR – Kemunculan jurnal Al-Manar yang diprakarsai Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho memberi nafasi baru di dunia Islam. Dengan semangat reformis dan pembaharuannya, pengaruh jurnal ini juga sampai ke kawasan Timur Jauh seperti Indonesia. Artikel tulisan Jajat Burhanuddin, Guru Besar UIN Syarif di bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, yang ada di tangan pembaca ini mengeksplorasi seberapa pengaruhnya jurnal ini terhadap permintaan fatwa di kawasan Asia Tenggara.
Terdapat tiga kelompok yang berinteraksi denggan jurnal ini: Pelajar Muslim asal pribumi yang merantau ke Timur Tengah, warga Arab atau sekitarnya yang menetap di Indonesia, serta mereka yang tidak pernah secara langsung tinggal di Timur Tengah namun merupakan pembaca yang baik terhadap Jurnal tersebut. Hasil dari penelitian ini, terdapat tiga hal yang sesuai dengan fatwa dari jurnal ini: Islam dan modernitas, praktik keagamaan, dan aspirasi dari reformis agama. Untuk lebih jelasnya, berikut hasil bacaan atas penelitian ini:
Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan, Burhanuddin mengangkat penelitian terdahulu sebagai pijakan awal penulisan artikel ilmiah ini. Ia merujuk pasa satu artikel tulisan J.E Bluhm yang terbit tahun 1983 dengan judul A Preliminary Statement On The Dialogue Established Between The Reform Magazine Al Manar and The Malayo Indonesian World. Hasil dari penelitian itu adalah, sepanjang penerbitan jurnal Al-Manar, muncul 134 permintaan fatwa dari kawasan kepulauan Malaya-Indonesia, Asia Tenggara.
26 di antaranya berupa pengumuman dan tulisan komentar terhadap urusan sebelumnya di Asia Tenggara sebelum artikel diterbitkan di jurnal. Berdasar hasil penelitian tersebut, tulisan Burhanuddin mengeksplorasi lebih dalam substansi pemohon yang mencerminkan perubahan intelektual sosial muslim di Asia Tenggara. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan hubungan antara muslim Asia tenggara dan muslim di Timur Tengah pada permulaan abad 20 yang memiliki kesamaan dalam hal nasib terjajah.
Reformasi Islam
Memasuki bahasan selanjutnya, Burhanudin terlebih dahulu menjelaskan apa itu reformasi islam yang digagas oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pada intinya, reformasi islam merupakan jawaban atas tuntutan modernitas yang sering kali kala itu disejajarkan dengan penjajahan. Bahwa islam terjajah dan ketertinggalan segi teknologi menjadi bukti agama ini mengalami fase keterbelakangan.
Untuk itu, Abduh menuntut umat Islam untuk merumuskan kembali warisan islam untuk menggali sumber-sumber ilahi melalui cara rasional independen (ijtihad). Dengan berani berpikiran terbuka, harapannya, umat islam dapat memunculkan gagasan-gagasan baru dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan moderen.
Di lain sisi, Abduh juga membuka peluang untuk sekolah moderen sebagai bentuk perubahan dalam diri Islam, sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan moderen. Meski demikian, ia tetap berlandasan pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman umat islam, tetapi jug mau mempelajari ilmu sains dan ilmu-ilmu moderen lainnya.
Di kawasan Asia Tenggara, sosok ysng setuju dengan pemikiran ia seperti Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia menjadi sosok muslim di indonesia pertama yang mau mengadopsi sistem pendidikan islam berbasis moderen, dan kini, organisasi yang ia dirikan telah memiliki banyak cabang lembaga pendidikan di indonesia, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Hubungan Asia Tenggara, Mekkah, dan Kairo
Burhanuddin juga mengulas keterkaitan muslim kawasan Asia Tenggara (Nusantara) dengan Timur Tengah, utamanya Mekkah dan Kairo. Hubungan muslim Nusantara dan Makkah telah terjalin sejak abad ke 16. Proses transmisi keislaman pada abad itu berhulu dari Makkah yang kemudian menyebar ke kawasan Timur Jauh.
Namun, di penghujung abad ke 20, arus ini kian berubah seiring derasanya arus moderenitas Barat. Berubahnya jaman ini juga sedikit banyak berpengaruh pada cara penyebaran islam ke kepulauan Melayu-Indonesia dari Kairo.
Di kota ini dan dalam waktu yang bersamaan Jurnal Al-Manar lahir. Pemikiran reformis yang digagas oleh jurnal ini turut mempengaruhi intelektual muslim, termasuk yang berasal dari Asia Tenggara. Meski demikian, tidak semua menerima gagasan pembaharuan ini. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau termasuk ulama yang menentang isi pemikiran di dalam Jurnal Al-Manar ini.
Ia juga mengutus beberapa muridnya untuk membaca tulisan ini yang bertujuan memberi tulisan tandingan ataupun kritik. Namun, beberapa dari muridnya justru terinspirasi jurnal Al-Manar. Sosok seperti Ahmad Dahlan dan Syaih Tahir Singapura menjadi contoh dua ulama reformis yang terinspirasi dari jurnal Al-Manar ini.
Kelompok yang Dimintai Fatwa
Pada bagian ini, Burhanuddin menjelaskan siapa saja kelompok yang menjadi tempat rujukan fatwa berdasar jurnal Al-Manar. Singkatnya terdapat tiga kelompo: pertama, para pelajar lokal yang belajar di kairo. Kedua, imigran arab yang didatangkan belanda ke Nusantara. Ketiga, muslim lokal yang memiliki akses terhadap jurnal Al-Manar.
Sekalipun belanda telah memberi batasan ketat tentang masuknya pengaruh timur tengah, tetap saja masih ada yang kecolongan. Pelabuhan Tuban misalnya yang tidak dijaga oleh pemerintah Belanda menjadi celah masuknya barang selundupan, termasuk majalah Al-Manar misalnya.
Permintaan Fatwa Al-Manar
Terdapat tiga bentuk permintaan fatwa oleh masyarakat Indo-Malaya terhadap jurnal Al-Manar. Pertama, permintaan fatwa terkait tantangan modernitas. Masyarakat Indo-Malay yang kala itu dalam keadaan terjajah sedikit banyak bersinggungan dengan kebudayaan dan modernisme barat.
Tak jarang, hasil dari interaksi tersebut sampai pada tahap yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan hukum islam. Sebagai contoh, hukum menikah dengan perempuan kristen, hukum mendengarkan lantunan bacaan Al-Qur’an dengan gramofon dan masih banyak lagi.
Kedua, pertanyaan tentang tradisi peribadatan. sebagai kawasan yang jauh dari pusat peradaban islam, terkadang muslim Malay-Indonesia dalam beribadah bercampur dengan tradisi lokal, sehingga bentuk peribadatan seperti ini yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan bagi sebagian reformis Muslim di tempat tersebut.
Sebagai contoh, bagaimana hukum berdoa di hadapan batu nisan, hukum atas kebiasaan yang telah tersebar luas berupa talqin kepada orang yang telah dimakamkan, dan masih banyak lagi.
Ketiga, tentang agama Islam di Asia Tenggara dan Perkembangannya. Terdapat suatu hal unik perlakuan masyarakat muslim lokal terhadap ekspatriat Hadrami. Orang arab seringkali mendapat perlakuan mulia oleh masyarakat lokal. Banyak reformis islam yang mempromosikan semangat egalitarian islam memepertanyakan posisi yang dinikmati ‘sayyid’.
Tiga poin penting yang dipertanyakan reformis terhadap sayyid: mencium tangan mereka, tidak boleh menikahi anak perempuannya, dan penggunaan gelar sayyid itu sendiri. Pada permintaan fatwa awal (vol. 8, 1905, 580) mustafti (orang peminta fatwa) menyebut, pernikahan antara perempuan sayyid dan lelaki non-sayyid merupakan pengilustrasian monopoli sayyid tradisional terhadap transmisi kepercayaan keagamaan.
Reformis Islam vs Tradisionalis
Perdebatan kaum reformis dan tradisionalis di Asia Tenggara juga kian meruncing mana kala reformis menuduh pemimpin keagamaan mereka melakukan praktik bidah dan mereka hanya taqlid. Apa yang mereka lakukan berdasar atas pendahulu mereka yang juga melakukan hal tersebut. Mereka (tradisionalis) mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk ittiba’ kepada ulama.
Sedangkan apa yang dituduhkan kaum reformis tidak lain merupakan bentuk upaya merusak tradisi. Salah seorang reformis yang vokal dalam hal ini adalah basyuni Imran. Ia merenungi tentang keadaan muslim Asia Tenggara yang cenderung mundur dan terbelakang. Ia juga mempertanyakan mengapa Eropa dan Jepang mendahului Umat Islam dalam hal kemajuan peradaban. Keresahan itu ia curahkan ke dalam buku yang berjudul Kenapa Umat Islam Tertinggal? Dan Kenapa Umat Non-Islam Maju?
Judul: Aspiring for Islamic Reform: Southeast Asian Request for Fatwas in Al-Manar
Penulis: Jajat Burhanuddin