Review Artikel Sahiron Syamsyuddin, judul Artikel: Muhkam and Mutashabih: An Analytical Study of al-Tabarl’ s and al-Zamakhshari’s Interpretations of Q.3:7
SERATLONTAR – Perdebatan mengenai muhkam dan mutashabih dalam studi Al-Qur’an selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih perdebatan tersebut berkaitan dengan makna Muhkam dan Mutashabih.
Perdebatan ini menurut Syamsu Nahar dalam artikelnya, berkutat terhadap apakah arti dan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih dapat juga diketahui oleh manusia atau hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Masalah ini didasari atas Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 7, ada dua problem utama yang seringkali menjadi pembahasan dalam ayat ini.
Adanya ungkapan tunggal ummul kitab dan kata waw pada penggalan ayat wa maa ya’lamu ta’wiilahu illallah wa rasikhuuna, waw di antara kalimat Allah dan orang-orang yang berilmu dimaknai sebagai apa.
Karena jika dipahami waw yang berbeda (athof dan istisna), akan melahirkan penafsiran yang berbeda pula.
Sahiron Syamsuddin, pakar hermeneutika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berusaha untuk masuk ke dalam perdebatan ini dengan menampilkan penafsiran dari dua tokoh klasik, yakni ath-Thabari dan al-Zamakhsyari, dalam artikelnya yang berjudul, Muḥkam and Mutashabih: An Analytical Study of al-Ṭabarī’s and al-Zamakhshari’s Interpretations of Q. / 3:7.
Hasil Penelitia Sahiron terhadap Makna Muhkam dan Mutashabih Menurut Dua Mufasir
Perbedaan Mendasar Thabari dan Zamakhshari dalam Penafsiran
Menurut Sahiron, perbandingan atas penafsiran kedua tokoh ini memiliki signifikansi yang cukup besar.
Pertama, keduanya memiliki metode yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, ath-Thabari merepresentasikan tafsir bil matsur (dengan riwayat) dan al-Zamakhsyari tafsir bil ra’yi (dengan akal).
Kedua, ath-Thabari dan al-Zamakhsyari berasal dari aliran teologis yang berbeda (Mu’tazilah dan Sunni).
Ketiga, mu’tazilah dan sunni memiliki dua hasil penafsiran yang berbeda, mu’tazilah yang diwakili al-Zamakhsyari membolehkan penafsiran mutasyabih dengan meletakkan legitimasi penafsirannya atas Surah Al-Imran ayat 7.
Baca Juga: Pendekatan dalam Meneliti Al-Qur’an menurut Angelina Neuwrith
Metode Kedua Mufasir dalam Memaknai Surah Ali Imran Ayat 7
Penting untuk dilihat mengapa ada sebagian yang berani menyandarkan kebolehan menafsirkan ayat-ayat mutasyabih dalam konteks ini.
Diawali dengan pertanyaan, mengapa perdebatan mengenai muhkam dan mutasyabih ini sudah ada sejak saat Al-Qur’an itu muncul, Sahiron menganalisis penafsiran Thabari dan Zamakhsyari secara mendalam. Sahiron Kemudian membandingkannya.
Menurut Sahiron, dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 7, ath-Thabari dan al-Zamakhsyari menggunakan dua metode yang berbeda. Ath-Thabari mengkombinasikan antara metode leksikal (Menafsirkan ayat dengan ayat al-Qur’an lainnya) dan bahasa, sedangkan al-Zamakhsyari bersandar kepada aspek bahasa (lexical materials) saja.
Berangkat dari metode yang berbeda tersebut, Sahiron membahas tiga kata kunci yang menjadi inti penafsiran. Kata kunci tersebut ialah, muhkamat, mutasyabih, dan umm al-kitab.
Makna Muhkam dan Mutashabih dan Umm Al-Kitab
Makna Muhkam
Menurut Sahiron, mengenai definisi muhkamat, Thabari dan Zamakhsyari memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda. Mereka sepakat muhkamat ialah ayat yang jelas pengungkapannya dan ada penjelasan (bukti/dalil) yang terperinci mengenainya.
Walaupun sebenarnya, pendapat mereka memiliki alasan yang berbeda. Perbedaan yang signifikan muncul dalam pendefinisian ayat-ayat mutasyabih, terutama mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan ayat mutasyabih.
Makna Mutasyabih
Ath-Thabari memaknai mutasyabih sebagai materi yang tersembunyi dalam al-Qur’an. Yakni, sebuah pengetahuan yang hanya boleh didefinisikan atau hanya diketahui oleh Allah.
Seperti, problematika mysterious letters atau huruf al-Muqatha’ah, kapan tibanya hari kiamat, kapan munculnya Nabi Isa dan Dajjal sebelum hari kiamat kelak dst.
Sedangkan, al-Zamakhsyari memahami ayat mutasyabih sebagai sesuatu yang tidak hanya Allah saja yang mengetahui maknanya, bisa pula dipahami oleh ar-Rosikhuna fil-ilmi juga (orang yang memiliki pengetahuan) tidak terbatas pada Tuhan saja. Orang-orang yang mendalam ilmunya dengan pengamatan dan ketekunan yang tinggi, memiliki peluang untuk dapat memahami makna ayat-ayat mutasyabih tersebut.
Baca Juga: Manuskrip Hadis dan Tafsir dalam Catatan, Sejak Kapan Keduanya Muncul
Makna Umm Al-Kitab
Terakhir, makna dari umm al-kitab. Ath-Thabari, menyamakan umm al-kitab dengan asl-al kitab (inti dari kitab), definisi ini berimplikasi pada umm al-kitab adalah ayat-ayat muhkamat, karena dalam al-Qur’an porsi paling banyak merupakan ayat muhkamat.
Senada dengan ath-Thabari, al-Zamakhsyari juga berpendapat demikian, muhkamat diciptakan sebagai basis atau dasar penafsiran untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabih.
Perbedaan Metodologis Kedua Mufasir
Perbedaan metodologis penafsiran dan pemahaman (aliran teologis) memang menjadi suatu dinamika tersendiri dalam sebuah penafsiran al-Qur’an.
Ketika dua penafsiran, antara ath-Thabari dan al-Zamakhsyari dipertemukan menghasilkan hasil yang memperkaya khazanah penafsiran dari sudut pandang yang berbeda.
Perbedaan yang mencolok, diurai dengan baik oleh Sahiron menggunakan analisis komparatif dan sudut pandang mufassir klasik lainnya. Pada intinya, kedua mufassir ini memang berbeda dalam kebolehan menafsirkan ayat-ayat mutasyabih.
Ath-Thabari yang bersikeras dengan pendapatnya bahwa tidak ada yang boleh menafsirkan ayat mutasyabih selain Allah, sedangkan al-Zamakhsyari membolehkannya.
Menurut penulis, perbedaan membaca fungsi waw pada penggalan ayat wa rosikhuuna fil ilmi menjadi satu kunci yang membedakan hasil penafsiran mereka.
Kemudian penafsiran dengan aspek bahasa tanpa mempertimbangkan ayat-ayat lain yang berkaitan, menjadikan penafsiran al-Zamakhsyari cenderung pendek.
Bahkan, Sahiron mengatakan, al-Zamakhsyari agaknya reduksionis dalam memahami makna muhkam dan mutasyabih ini, karena ia hanya mengacu kepada aspek teologis.
Baca Juga: Ragam Penafsiran Al-Qur’an di Masa Modern dan Kontemporer
Penilaian Penulis Terhadap Artikel Tulisan Sahiron
Pada akhirnya, tulisan Sahiron Syamsuddin ini memperkaya diskusi mengenai penafsiran atau makna Muhkam dan Mutashabih (Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Goldziher, McAuliffe dan Kinberg) serta diskursus studi tafsir secara luas.
Sahiron berhasil menampilkan perdebatan kedua aliran teologis yang berbeda, dengan pendekatan hermeneutika yang komparatif, terstruktur, dan rapi.
Adapun hal yang menjadi persoalan lebih mengenai hasil penelitian, seperti definisi yang dibuat oleh al-Zamakhsyari maupun Ath-Thabari seakan akan tidak jauh berbeda, hanya menukar pendapat atau dalam kata lain hanya berbeda konsep yang satu.
Terakhir, perlu adanya penelitian lebih lanjut yang membahas mengenai ini. Apakah memang kedua tokoh ini berbeda secara substansial atau hanya perbedaan dalam mendefinisikan? Wallahu A’lam
Oleh: Ahmad Faaza Hudzaifah
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga